SPENADAQUWH......
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Pencarian
 
 

Display results as :
 


Rechercher Advanced Search

Latest topics
» bleketepe band indie magelang
Menyoal Globalisasi Sekolah EmptyFri Oct 31, 2008 7:05 pm by nothing.special.from.me

» fortuna band magelang
Menyoal Globalisasi Sekolah EmptyFri Oct 31, 2008 5:52 pm by nothing.special.from.me

» Fasilitas Sekolah
Menyoal Globalisasi Sekolah EmptyFri Oct 31, 2008 3:35 pm by nothing.special.from.me

» Prestasi Sekolah
Menyoal Globalisasi Sekolah EmptyFri Oct 31, 2008 3:34 pm by nothing.special.from.me

» ekstrakulikuler
Menyoal Globalisasi Sekolah EmptyFri Oct 31, 2008 3:26 pm by nothing.special.from.me

» profesionalisme Guru
Menyoal Globalisasi Sekolah EmptyFri Oct 31, 2008 3:24 pm by nothing.special.from.me

» Menyoal Globalisasi Sekolah
Menyoal Globalisasi Sekolah EmptyFri Oct 31, 2008 3:23 pm by nothing.special.from.me

» Kurikulum Matikan Daya Kreatifitas Siswa
Menyoal Globalisasi Sekolah EmptyFri Oct 31, 2008 3:21 pm by nothing.special.from.me

» berharap pada KTSP
Menyoal Globalisasi Sekolah EmptyFri Oct 31, 2008 3:19 pm by nothing.special.from.me

Navigation
 Portal
 Indeks
 Anggota
 Profil
 FAQ
 Pencarian

Menyoal Globalisasi Sekolah

Go down

Menyoal Globalisasi Sekolah Empty Menyoal Globalisasi Sekolah

Post by nothing.special.from.me Fri Oct 31, 2008 3:23 pm

Alokasi dana pendidikan di Indonesia yang cukup tinggi pada akhir-akhir ini diharapkan bisa mendongkrak kualitas pendidikan di Indonesia yang konon jauh tertinggal dibanding dengan negara-negara seumuran. Entah apa yang menjadi standar untuk menentukan mutu pendidikan, sehingga negara kita dikatakan terbelakang. Toh tidak sedikit profesor, doktor bahkan ilmuwan yang berkewarganegaraan Indonesia. Nilai selalu menjadi kambing hitam dalam penerapan standar pendidikan berkualitas tinggi. Kemudian timbul sebuah stigma bahwa sekolah yang baik adalah sekolah yang bisa menghasilkan lulusan yang dapat memenuhi standar nilai yang telah ditetapkan oleh dinas pendidikan. Dari stigma ini, banyak sekolah ramai-ramai membangun fasilitas sekolah yang mewah. Bahkan ada juga sekolah yang dengan gencar menyatakan diri sebagai Sekolah Berbasis Internasional (SBI), tentu saja, dilengkapi fasilitas yang wah. Tak dapat dipungkiri, lulusan BSI memang lebih baik. Mereka dapat lebih mnegasai materi yang diberika guru. Nilai yang mereka dapat dalam ujian akhir pun rata-rata lebih tinggi dibandingkan siswa sekolah yang tidak berlebel SBI. Mereka juga memiliki kesempatan lebih besar untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri, karena biasanya, sekolah BSI memiliki jaringan kerjasama dengan universitas luar. Untuk mencapai mutu yang diinginkan, tidak tanggung-tanggung, sekolah ini merekrut tenaga pengajar dari luar negeri. Sekolah itu lebih menghargai tenaga kerja dari luar negeri, dan mengabaikan tenaga pengajar lulusan dalam negeri. Imbas dari tenaga kerja impor ini adalah bahasa yang digunakan dalam sekolah ini adalah bahasa inggris sebagai bahasa internasional. Memang benar, saat ini bahasa Inggris memang sangat diperlukan. Namun, para pengajar native ini memiliki latar belakang budaya yang sama sekali berbeda dengan budaya kita. Tak heran, para siswa pintar di dalam kelas, namun tak dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari dalam pergaulan di masyarakat. Selain perbedaan budaya, perekrutan tenaga pengajar luar negeri itu juga berdampa pada banyaknya pengangguran. Banyak sarjana yang mempunyai kapabilitas di atas rata-rata, namun tak memiliki kesempatan. Walhasil warga Indonesia hanya sebagai kuli di negerinya sendiri. Belum lagi dengan adanya penerapan wajib berbahasa Inggris di sekolah, menjadikan ideologi Indonesia serasa di injak-injak. Bagaimana tidak? Mereka lebih mengedepankan bahasa orang lain dibanding dengan bahasa Indonesia yang menjadi bahasa resmi serta bahasa persatuan tanah air ini. Artinya, kedaulatan Indonesia tidak terasa semakin lama mengalami abrasi dan akhirnya akan musnah jika tidak ditampilkan sebuah alternatif pemecahan masalahnya. Kerugian lain yang ditimbulkan dari menjamurnya SBI adalah memperlebar jurang pemisah antara si miskin dan si kaya. SBI adalah sekolah yang mahal karena berfasilitas serba wah. Mahal adalah konsumsi orang-orang kaya. Maka tidak salah jika ada anggapan bahwa sekolah yang berlabel SBI adalah sekolah orang kaya. Orang miskin tidak mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan disekolah dengan fasilitas yang memadai. Dengan memperhitungkan untung ruginya pendirian SBI di Indonesia, haruskah kita teruskan? Setidaknya itulah pertanyaan besar yang menjadi bahan renungan kita sebagai bangsa yang beradab. Sementara negara lain berpacu meningkatkan teknologi dalam pendidikan, negara kita masih terseok-seok menentukan kurikulum apa yang tepat. Mungkin sudah menjadi tradisi para pemimpin negeri ini untuk menancapkan monumen kepemimpinan mereka, melalui kebijakannya, termasuk dalam bidang pendidikan. Sehingga tak heran, setiap ganti menteri, ganti kebijakan. Entah sudah berapa kali kurikulum pendidikan di negeri ini berganti, menyebabkan buku kakak tak lagi dimanfaatkan adiknya. Belum selesai kurikulum A, sudah diganti dengan kurikulum B, belum selesai dilaksanakan kurikulum B sudah berganti lagi dengan kurikulum C. Yang terakhir, kurikulum baru yang dinamakan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) untuk mengganti sistem KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang diterapkan sebelumnya. Apa sih KTSP itu? KTSP adalah sebuah kurikulum yang diberlakukan berdasarkan Permendiknas No. 19 tahun 2007, yang memungkinkan sekolah menentukan sendiri kurikulum yang diajarkan kepada para siswa. Meski dibebaskan, namun kompetensi siswa telah dirumuskan dalam KBK. Dengan kebebasan ini, seorang guru diharapkan bisa memiliki inovasi dan daya kreatifitas yang tinggi untuk menyampaikan materi kepada peserta didiknya dengan baik. Penentuan kurikulum ini bisa berbeda antar satu sekolah dengan lainnya, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan para siswa. Kurikulum baru ini belum teruji kualitas dan efektivitasnya. Banyak pula guru yang masih gagap untuk menyusun bahan ajar sendiri untuk memenuhi kompetensi yang diharapkan. Ya, semua memang butuh waktu. Kita berharap banyak pada kurikulum baru ini, agar tak semakin tertinggal dari negara lain.

nothing.special.from.me
nothing.special.from.me
Admin

Jumlah posting : 91
Age : 30
Lokasi : kota kecil sudut kota magelang,yang tidak penting
Registration date : 15.10.08

http://spenada4u.co.cc

Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik